Jajak pendapat ini hanyalah bukti
terbaru bahwa banyak remaja yang mengambil sikap lebih berhati-hati
terhadap hubungan seks, ucap Sally Sachar, wakil direktur kampanye
tersebut, dalam sebuah pernyataan. Hal ini juga menjelaskan fakta bahwa
para orang tua dapat, dan harus memainkan peran aktif secara terus
menerus dalam membantu anak-anak mereka memahami bahwa seks dapat
menunggu.
Memang benar, 37 persen dari mereka yang
disurvey mengatakan bahwa orangtua mereka merupakan pengaruh paling
penting dalam keputusan mereka mengenai seks. Tiga puluh persen remaja
mengatakan bahwa teman-teman mereka paling berpengaruh dalam keputusan
mereka, sementara 11 persen mengatakan media dan 11 persen lainnya
mengatakan komunitas keagamaan mereka sebagai pemberi pengaruh terbesar.
Survey tersebut juga menemukan bahwa 78
persen remaja akil baliq yang disurvey percaya bahwa para remaja
seharusnya tidak aktif secara seksual. Namun, 54 persen dari para remaja
yang disurvey mengatakan bahwa mereka yang aktif secara seksual
seharusnya memiliki kemudahan memiliki alat kontrasepsi.
Dan 64 persen dari para remaja yang
dimintai jajak pendapat mengatakan bahwa mereka akan menyarankan adik
atau teman mereka untuk menunda berhubungan seks setidaknya hingga
mereka menyelesaikan sekolah menengah.
Survey tersebut didasarkan pada
wawancara-wawancara telepon dengan sekitar 500 remaja akil baliq berusia
antara 12 hingga 17 tahun. Wawancara-wawancara tersebut dilakukan oleh
sebuah perusahaan riset independen.
Jadi bila hampir dua pertiga dari para
remaja Amerika yang telah melakukan hubungan seks berpikir bahwa mereka
seharusnya menunggu dulu, mengapa para remaja di Indonesia tidak
berusaha juga untuk melakukannya ? Cinta tidak berkonotasi dengan seks,
cinta berkonotasi dengan kasih sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar